Secara konvensional
dapat disebut mahasiswa adalah merupakan generasimuda yang belajar dan
beraktifitas di Perguruan Tinggi. Penegasan bahwamahasiswa merupakan
orang-orang yang belajar di Perguruan Tinggi jelasmenempatkan posisi mahasiswa
sebagai bagian dari masyarakat PerguruanTinggi, yang merupakan tempat segala
bentuk ilmu
Mahasiswa sebagai masyarakat intelektual dan sekaligus
sebagaiwarganegara tentu saja memiliki tugas dan tanggung jawab yang tidak
ringan.Sebab, idealnya mahasiswa dituntut bukan hanya untuk cerdas dalam
belajar,tetapi lebih dari pada itu juga harus kritis terhadap kenyataan
sosial yang ada.Kenyataan inilah, makanya mahasiswa disebut sebagai agent of change meminjam istilah Auguste
Comte atau agent of modernization dalam istilah lainAli
Syariati. Sebab,
secara regeneratif segala bentuk kenyataan yang ada hari ini pasti diwariskan
kepada mahasiswa yang memiliki tugas dan tanggung jawabsebagai penggagas ide
bagi kemajuan kehidupan sosial dan berbangsa.Sejarah juga mencatat bahwa peran
mahasiswa juga sangat besar dalam proses reformasi kehidupan berbangsa.
Untuk menyebut misalnya beberapa peristiwa penting reformasi negara-negara
juga diperankan oleh mahasiwa, diantaranya seperti Juan Peron di Argentina
tahun 1955; Perez Jimenez diVenezuela tahun 1958; Soekarno di Indonesia tahun
1966; Ayub Khan diPaksitan tahun 1969; Reza Pahlevi di Iran tahun 1979; Chun
Doo Hwan di KoreaSelatan tahun 1987; Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985
dan Soeharto diIndonesia tahun 1998.
Tentu saja kita harus jujur mempertanyakan, mampukan mahasiswa-mahasiswa
hari ini untuk menunaikan tugas dan tanggung jawabnya itu, terutamaketika
pragmatisme dan materialisme merasuki dunia kampus yang membuahkansikap
anarkisme? Tampaknya kenyataan menunjukkan bahwa beberapa tahunterakhir ini,
terutama ketika pasca reformasi tugas dan tanggung jawab ini
seakanterabaikan mahasiswa. Sebab, harus kita sesalkan bahwa media masa, baik
cetak atupun elektronik hanya melaporkan sikap anarkisme yang diiklan
paramahasiswa, yang justeru terkesan mengotori semangat reformasi
yangdigaungkan.Kenyataan ini tentu tidak dapat kita pungkiri bahwa bukan hanya
secara projetatif media masa menyebutkan adanya anarkisme itu di
kalangan mahasiswa,tetapi kenyataan menunjukkan kepada kita justeru hampir
setiap kampus kitamenyaksikan itu bahwa itu benar-benar ada. Hal ini adalah
sesuatu yang sangatkontradiktif dengan tugas utama mahasiswa sebagai masyarakat
kampus, yangseharusnya tugasnya belajar untuk menjadi calon-calon ilmuan.
Namun, justerulebih banyak mengabiskan waktunya hanya untuk melakukan hal-hal
yang tidak relevan dengan keilmuan yang diajarkan di Perguruan
Tinggi.Tampaknya, kita harus menegaskan kembali tugas primer
mahasiswameminjam istilah Arief Budiman bahwa “mahasiswa adalah orang yang
belajar disekolah tingkat Perguruan Tinggi untuk mempersiapkan dirinya bagi
suatukeahlian tingkat sarjana. Itulah yang pertama dan utama tugas bagi
paramahasiswa.
Bahwa dia juga aktif sebagai aktifis atau senang pada kesenian,
ituadalah fungsi sekundernya. Demikian juga bila dia senang pada
persoalan- persoalan politik, itu adalah fungsi sekundernya, yang pertama
dan yang utama tugasnya ialah mempersiapkan diri untuk suatu keahlian tertentu”.
Namun, kenyataan
menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran dari tugas primer menjaditugas
skunder dan sebaliknya tugas skunder menjadi primer. Atau dalam kenyataan
lain kita juga menyaksikan justeru adanya kesan over fuction
mahasiswa menjadi agen-agen kepentingan tertentu sehingga
mengabaikan tugas primernya untuk belajar.Pada dasarnya, tidak diragukan
lagi bahwa tanggung jawab terhadapkenyataan kehidupan itu juga merupakan bagian
dari tanggung jawab mahasiswauntuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan bangsa
ini. Tampaknya, beberapagejolak yang terjadi di kampus—secara positif dapat
dikatakan—hal itu jugamerupakan bagian dari ungkapan dari tanggung jawab
mahasiswa terhadap bangsa ini.
Namun, gejolak itu tentu saja idealnya tanpa harus
dimuatianarkisme. Sebab, anarkisme bukanlah dari jati diri mahasiswa
yangsesungguhnya dan justeru kita melihat adanya kesan “tumpangan” politik
pihak- pihak tertentu di dalamnya, yang terkadang disadari atau tidak
oleh mahasiswa dijadikan sebagai alat pressure group (group penekan) untu
memuluskan kepentingan tertentu.Idealnya tentu saja menurut Jusuf A Feisal
adalah bahwa mahasiswa dalam konteks tanggung jawab ini minimal harus mampu
menuntut dan membantu mahasiswa dalam usaha memenuhi hal-hal:
a) pengembangan pemikiran dan penalaran mahasiswa (structured
ideas and reasoning )
b) minatdan kegemaran mahasiswa (student interest )
c) kesejahteraan mahasiswa(student walfar).
Karena memang ketiga hal ini seharusnya menjadi fokusutama mahasiswa
sebagai penunjang setiap aktifitas yang dilakukan, baik itudalam proses
pemenuhan tugas ataupun tanggung jawabnya.Untuk itu, sejatinya mahasiswa harus
menjadi insan-insan yang visioner ,
yaitu manusia yang
berwawasan ke depan, yang berani bermimpi untuk membentangkan cita-cita
yang luhur sejalan dengan semangat keilmuan yangditerimanya di kampus. Bagi
orang yang visioner mimpi menjadi energi dahsyatuntuk menggerakkannya
menjadi kondisi luar biasa yang sesuai denganmimpinya. Sebab itu, visioner juga
artinya tidak bergantung kepada orang lain,yaitu mandiri dalam berpikir
dan mandiri dalam bertindak, itu semua dibentuk didalam kampus dan tentu
saja berakhlak luhur merupakan inti dari semua itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar